Bahasa Indonesia ( Tugas I )


Kasus Pajak Bakrie Sebelum Century

Tokoh sentral di Grup Bakrie, Aburizal Bakrie, menilai tudingan tunggakan pajak kepada sejumlah anak usaha Grup Bakrie tidak lagi murni masalah perpajakan atau fiskal yang berkaitan dengan penerimaan negara. Beliau menilai permasalahan tunggakan pajak sudah dipolitisasi.

Menurut beliau upaya penyidikan dugaan tindak pidana pajak yang melibatkan tiga perusahaannya merupakan instrumen penekan atas sikap partainya yang bersikap keras dalam menyikapi kasus Century.

Sedangkan menurut Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo menegaskan jika pengusutan kasus dugaan tindak pidana pajak yang melibatkan tiga anak perusahaan tambang milik Grup Bakrie , tidak ada kaitannya dengan proses penyelidikan kasus Bank Century oleh Pansus Hak Angket DPR.

Beliau menegaskan tidak ada perintah baik dari Presiden maupun Menteri Keuangan dalam proses pengusutan kasus dugaan pidana pajak yang melibatkan tiga anak perusahaan milik Bakrie Group itu. Menurut beliau, “Ini merupakan kewajiban Ditjen Pajak saja untuk menyidik kasus pidana pajak, bukan berarti karena diperintah presiden atau menteri keuangan. Ini semata-mata karena tugas Ditjen Pajak” .

Mochamad Tjiptardjo menerangkan bahwa, proses pengusutan tiga kasus dugaan pidana pajak tersebut berawal dari informasi yang diperoleh Ditjen Pajak yang kemudian ditindaklanjuti dengan prosedur pemeriksaan. “Saya menyidik karena ada unsur tindak pidana perpajakannya. Saya kan nggak tahu politik, saya taunya nanganin pajak,” jelasnya.

Dia menjelaskan pengusutan kasus dugaan pidana pajak tiga perusahaan pajak milik Bakrie tersebut sebenarnya sudah dilakukan sebelum munculnya kasus bailout Bank Century. “Tidak ada kaitannya dengan Century dan pajak. Kami menangani wajib pajak itu jauh hari sebelum kasus Century. Semua wajib pajak kami perlakukan sama,” ujarnya.

Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan penelusuran dugaan pidana pajak tiga perusahaan tambang batubara di bawah payung bisnis Grup Bakrie senilai kurang lebih Rp 2,1 triliun. Tiga perusahaan tambang itu antara lain PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources Tbk., (BR) dan PT Aruitmin Indonesia.

Ketiganya diduga melanggar pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan atau terindikasi tak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan secara benar. ”Tekniknya bermacam-macam, intinya tidak melaporkan penjualan sebenarnya,” kata Tjiptardjo.

Referensi :Bisnis Indonesia Online

0 komentar:

Posting Komentar